Melihat setiap sudut kehidupan zaman sekarang ini, khususnya dunia pendidikan, kita tidak dapat lepas dari kaca mata budaya modern. Memang pada awalnya modernitas merupakan sebuah prestasi besar peradaban yang membawa manusia keluar dari zaman yang dinamakan zaman kegelapan menuju kepada zaman pencerahan. Kemudian melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu muncullah perkembangan dan pergeseran-pergeseran budaya dalam kehidupan masyarakat. Alih-alih memberikan perubahan dan pencerahan, modernitas memberi ekses yang sangat besar bagi manusia. Bukan bermaksud menggarisbawahi sisi negatif dari paradoks modernitas, namun fakta sosial zaman kontemporer ini menuntun hati untuk mengamati ketimpangan dan berbagai keprihatinan sosial, khususnya kehidupan anak dan remaja, yang muncul dalam konteks modernitas.
Tidak menutup mata bahwa konteks kehidupan anak dan remaja zaman sekarang ini didominasi oleh teknologi. Bukan teknologinya itu sendiri yang berbahaya, namun ekses dari budaya teknologi itu yang perlu diwaspadai. Terlebih lagi, perkembangan teknologi yang ada sekarang ini berpadu dengan industrialisasi. Artinya bahwa teknologi media massa menjadi sarana yang luwes dan masif dalam memasarkan produk, bahkan menciptakan kebutuhan masyarakat. Media dan teknologi telah mendominasi waktu luang dan waktu senggang bahkan lebih jauh dari pada itu telah membentuk pandangan hidup, perilaku sosial dan membangun identitas masa.
Pada anak dan remaja, dominasi teknologi berada pada waktu vital mereka yaitu dunia permainan. Memang sepertinya hanya bermain, namun salah jika kita menduga bahwa mereka tidak serius saat bermain. Menurut Freud, kalau diperhatikan pekerjaan yang paling disukai anak-anak dan remaja adalah bermain dan anak-anak dan remaja sangat serius dalam menghidupi dunia permainannya. Dalam bermain, mereka sangat banyak mencurahkan emosi serta perhatiannya. Bayangkan saja jika kehidupan bermain sudah didominasi oleh media massa yang menawarkan citra! Lalu, bagaimana jika anak dan remaja yang seharusnya membentuk identitasnya melalui perjumpaan dan emosi pertemuan dalam permainan, telah di intervensi oleh teknologi media yang dengan pencitraan-pencitraannya, seperti kesenangan, kenyamanan, kemudahan. Lihat saja gaya hidup anak dan remaja dan bagaimana keber-ada-an mereka ditentukan oleh media. Misalnya, para remaja baru akan disebut sebagai anak gaul jika mereka sudah masuk mall, seorang anak akan dianggap ketinggalan zaman kalau belum mencicipi menu baru McDonald, atau seorang anak akan dibully habis-habisan kalau sepatu yang dikenakan tidak bermerk. Kebiasaan tersebut akan membentuk sebuah budaya baru seperti, budaya konsumtif, budaya takut (takut tidak gaul, takut tidak keren, takut ketinggalan zaman). Dan inilah yang sekarang sedang terjadi di sekitar kita, nilai-nilai kehidupan sudah luntur tergerus oleh kesenangan semata. Anak-anak dan remaja mulai kebingungan tentang apa itu menghormati, menghargai, peduli, saling menyapa dan semua nilai yang melibatkan pemahaman akan orang lain. Akankah kehidupan dibangun dengan budaya demikian itu? Namun, demikianlah konteks kehidupan anak dan remaja yang praktis juga menjadi konteks kehidupan dunia pendidikan.
Dunia pendidikan memiliki peran besar dalam ambil bagian melakukan transformasi kehidupan, meski tidak menutup kenyataan bahwa hubungan antara pendidikan dan konteks kehidupan saling timbal balik. Dalam situasi seperti ini pendidikan menghadapi tantangan besar untuk menjadi penerang dalam kegelapan. Apakah sekolah Kristen mampu membekali siswa-siswinya dengan mental dan karakter kristiani? Bagaimana pendidikan berperan dalam membangun keberanian siwa-siswinya menggunakan nilai-nilai kekristenan? Bagaimana lembaga pendidikan dapat menjadi sauh yang kuat sehingga anak-anak dapat berpijak diatasnya? Bagaimana lembaga pendidikan dapat berperan bagai pohon tarbantin sehingga anak-anak dan remaja bernaung di bawahnya? Atau jangan-jangan dunia pendidikan sudah dikuasai dunia pasar sehingga semboyan “business as usual” menjadi biasa, pendidikan menjadi komoditas belaka. Berangkat dari keprihatianan kehidupan masa kini dan gambaran akan kehidupan masa depan, muncullah harapan bahwa pendidikan memiliki peran vital dalam menanamkan nilai kehidupan (kekristenan). Pendidikan menjadi terang untuk menuntun manusia di jalan yang menuju kepada kehidupan, terlebih lagi lembaga pendidikan yang berdasar pada kekristenan.
Pk 08.00 – 08.30 | : | Registrasi dan coffee break |
Pk 08.30 – 08.40 | : | Pembukaan oleh MC |
Doa pembukaan | ||
Lagu Mars Petra | ||
Pk 08.40 – 08.50 | : | Sambutan Ketua I PPPK Petra |
Pk 08.50 – 09.00 | : | Performance Siswa TK |
Pk 09.00 – 09.05 | : | Pembacaan Curriculum Vitae |
Pk 09.05 – 10.05 | : | Sesi I oleh Prof Anita Lie, Ed.D |
Pk 10.05 – 10.10 | : | Persembahan Performance Siswa |
Pk 10.10 – 10.15 | : | Pembacaan Curriculum Vitae |
Pk 10.15 – 11.15 | : | Sesi II oleh Takim Andriono, Ph.D. |
Pk 11.15 – 12.15 | : | Tanya Jawab |
Pk 12.15 – 12.25 | : | Rangkuman dan Closing statement |
Pk 12.25 – 12.35 | : | Penyerahan kenang-kenangan dan doa penutup |
Realita di hadapan kita seperti teks yang perlu dibaca, di analisa dan dimaknai. Dalam sesi ini kita akan belajar membaca dan menganalisa tantangan yang dihadapi pendidikan Kristen di zaman kontemporer. Bukan hanya kemajuan IPTEK dan budaya populer namun kita juga akan menganalisa bagaimana isu gap generation. Bagaimana realita dapat menjadi faktor penghambat dan penunjang dalam proses belajar mengajar. Sederhananya, bagaimana teks dan konteks itu berpengaruh bagi pendidikan (nilai) Kristen?
Di sinilah pentingnya hasil analisa yang sudah terbaca di sesi pertama. Lalu, apa yang dapat kita lakukan? Transformasi adalah bahasa yang paling tepat untuk menjawab perubahan demi perubahan, namun persoalannya adalah, apakah kita akan merubah lembaga pendidikan atau kita akan merubah realita yang ada di sekitar kita? Apa peran transformatif lembaga pendidikan Kristen dalam menghadapi tantang jawab zaman kontemporer ini?